Skip to main content

Dialog Malam




Kamis, 11 Maret 2021.

Cukup lama rupanya tak bertegur sapa dengan lembar digital ini. 

"Ke mana saja? Kau tidak lari dari masalah kan? Atau sudah tak butuh terapi menulis? Kau sudah tak butuh aku?"

Bingung menjawabnya. Aku sendiri pun tak tau kenapa belakangan lebih nyaman menulis di buku catatan kecil. Seperti ingin kembali ke masa di mana buku kecil, pulpen, mp3, gitar, dan taman, sebagai teman yang tak pernah menilai.

"Lalu, apa kehidupanmu baik-baik saja?"

Kalau mau jujur, sama sekali tidak! Aku masih belum bisa keluar dari ruang gelap yang mulai sering kembali datang. Auranya buruk. Aku dibawa ke kondisi terbawah dan hampir menyerah.

Menceritakan semua di lembar digital ini dalam kondisi seperti kemarin rasanya kurang elok. Aku masih sama. Bakal bercerita ketika semuanya selesai.

"Sekarang kau mau bercerita? Aku janji tak akan menilai. Aku diam dan mendengarkan."

Tidak juga. Aku hanya mau bilang si titik nol kembali lagi. Aku hampir kalah. Tapi aku terselamatkan oleh benda lainnya. Aku bicara dan merekamnya. Aku dengarkan ketika sudah tenang. Lalu langsung mengevaluasi semua yang terjadi.

"Bagaimana? Kau berhasil dengan itu?"

Iya. Ketika mendengar suaraku sendiri, aku bisa mengambil jarak dan melihat diriku. Aku bisa mencari mana yang harus kubenahi dan mana yang harus rela kubiarkan agar tetap menjadi manusia.

"Kau bisa menangis? Atau tetap kesusahan dan tak tau harus bagaimana mengekspresikan emosi?"

Sesekali aku menangis. Tapi tetap sulit. Ada masa di mana aku menangis sesenggukan tanpa sebab. Mungkin tubuhku sedang membebaskan diri. Aku menerima itu. Tidak melawan dan tidak pura-pura kuat.

"Kau bisa membagi pikiran saat itu? Kau tetap memaksakan bekerja?"

Tidak. Di kondisi tertentu, aku mengambil cuti dan fokus pada diri sendiri. Aku sama sekali tak terganggu pekerjaan atau hal lain di luar diriku. Aku benar-benar mengobati diri sendiri.

"Kau dibantu obat? Kepalamu sakit?"

Iya. Obat sakit kepala saja. Tak perlu obat tidur. Aku membaik, bukan? Tapi memang kepalaku seperti mau pecah. Itu salah satu yang membuat air mataku bisa keluar mungkin. Sakit sekali. Aku hampir tak kuat.

"Kau membicarakan itu dengan teman manusiamu? Atau hanya kepada Gea, Nick, dan Donald?"

Kuceritakan pada teman manusiaku. Tapi tak semua. Yang aman-aman saja. Mereka juga punya persoalan hidup. Aku tak mau egois.

"Kau trauma? Takut ditinggalkan lagi?"

Tidak. Aku hanya membatasi diri. Aku tak mau jadi beban. Aku enggan jadi bahan ledekan kalau aku sedang tak bersama mereka. Itu kekhawatiranku saja. Mungkin aku terlalu drama.

"Bukan. Kau tak drama. Kau hanya takut dan melindungi diri."

Terima kasih tak menilaiku buruk. Aku memang sangat melindungi diri belakangan ini. Aku ingin hidup lebih panjang dengan sedikit drama. Aku mulai lelah dengan reaksi tubuh yang belakangan suka tak terkendali.

"Kau cukup berhasil. Aku bangga. Jangan terlalu memaksakan diri. Pelan-pelan saja. Nikmati prosesnya. Hidupmu berharga. Jalani dengan baik dan senormalnya. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Ingat itu!"

Iya. Aku tau. Aku sedang berusaha. Semoga berhasil. Jangan bosan-bosan mendengar keluhku ya. Meski lama kutinggal, aku tau kau tak akan beranjak. 

Tunggu aku di sini ya. Kita bakal berbagi cerita lain. Semoga yang tak mengandung kalut.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal