Indonesia lagi panas-panasnya!
Setidaknya itu yang sering saya dengar belakangan. Banyak faktor pemanas, kalau mau jujur.
Bukan hanya ocehan Prabowo Subianto yang kemudian disambut pro kontra. Peran pendukung petahana Joko Widodo, menurut saya, juga memengaruhi panasnya dunia politik Tanah Air.
Harus kah ada yang lebih baik diam? Tidak juga.
Prabowo sebagai petarung dalam rentetan pilpres harus bergerak. Alasannya jelas! Dia belum pernah menang dalam berbagai pertandingan. Berkali-kali ikut, namun kandas.
Sebut saja dia lebih gencar, kalau tak ingin disebut panik. Tudingan panik sebenarnya sudah pernah dilontarkan Adrian, politikus PDI Perjuangan, dalam salah satu talk show.
Dalam konteks ini, Prabowo mungkin sangat menyadari apa pun langkah yang dia ambil akan menjadi perhatian publik. Sesepele apa pun ocehan yang ia keluarkan akan menjadi kontroversi. Terlebih, era sosial media yang terlalu gampang mem-viral-kan sesuatu. Di sini, kita belum bicara buzzer dan lain-lain.
Kondisi seperti itu sebenarnya punya dua sisi. Bisa sangat menguntungkan karena secara tidak langsung bisa membangun opini publik. Di sisi lain, pola yang digunakan Prabowo juga merugikan. Contoh, bukan tak mungkin elektabilitasnya menurun.
Seorang pengamat politik sempat mendengungkan itu. Pidato kontroversial Prabowo justru menjadi bumerang.
Belum lagi loyalis Prabowo, Fadli Zon, yang kerap menggelitik melalui pernyataan nyinyir-nya. Boleh jadi, Fadli memang sudah nyinyir dari sananya atau mungkin kegaduhan tersebut jadi bagian strategi perang mereka.
Di samping Prabowo dan Gerindra, ada PKS yang mendampingi. Mardani Ali Sera kemudian harus bersusah meluruskan pernyataan karena sempat menyebut Prabowo membahasakan pemerintah atau elite 'goblok'. Ia kemudian berkali-kali menyebut nama lengkapnya untuk menegaskan kata-kata itu keluar dari mulut dia, bukan Prabowo. Ini pun ramai di media sosial.
See?? Semua ocehan, gerak, bahkan napas mereka pun bakal viral. Perhatian kemudian mengarah pada mereka.
Apa itu menguntungkan? Saya sudah jelaskan di atas. Dan penjelasan klise itu tak serta merta bisa dilihat sebagai hal sepele.
Banyak mulut menyebut cara-cara itu kurang pas. Prabowo bisa saja kembali kalah. PKS juga harus diwaspadai. Beruntung, sepertinya Prabowo bakal mendeklarasikan diri, Kamis, 5 April 2018. Bila tidak, bukan tak mungkin PKS mencari calon lain untuk diusung pada Pilpres 2019.
Kita lihat saja. Sepertinya bakal semakin seru bila Gerindra mendeklarasikan capresnya. Kita tinggal menunggu bursa cawapres dan rebutan kursi calon RI 2 di koalisi itu.
Di kubu berseberangan, ada Jokowi yang siap tanding. Dia memang belum punya cawapres, tapi proses penjaringan tetap berjalan. Dia sudah siap sejak awal dan didukung banyak parpol. NasDem, Golkar, PPP, PDI Perjuangan, dan Hanura sudah siap memenangkan. Belum lagi PSI, Perindo, dan pihak-pihak lain. Meski partai baru, kita tak boleh mengecilkan kehadiran mereka. Strategi komunikasi politik, terutama PSI, tak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, Kubu ini harus memerhatikan langkah. Salah-salah, bisa terjungkal karena kelakuan tim sendiri.
Menurut saya, ocehan kubu sebelah tak perlu terlalu diladeni. Posisi rentan jatuh itu nyata bila terlalu reaktif.
Awam pun bisa melihat betapa potensial pihak-pihak yang mendukung Jokowi di periode kedua. Orang-orang pintar dan kreatif ada di sana. Dalam semua lini.
Tapi, potensi keuntungan besar ini bisa mati bila tak dikelola dengan baik. Ingat, ada pengalaman buruk soal orang pintar dan mengabdi namun harus berakhir nahas ketika terpeleset lidah.
Logikanya, semakin banyak pendukung, semakin banyak lidah bicara. Kata-kata bukan persoalan sepele, loh! Ini justru bisa jadi senjata makan tuan. Berhati-hati bila ingin mulus.
Masyarakat semakin cerdas, memang iya. Tapi tak sedikit yang gampang termakan isu, apalagi menyangkut SARA. Sedih rasanya kalau membahas ini.
Saya sebagai masyarakat awam hanya bisa bicara melalui tulisan. Saya bukan pendukung keduanya. Saya suka Jokowi dengan segala terobosan dan kerjanya. Tapi Prabowo juga tak bisa diabaikan. Meski sejarah mencatat, wibawa seorang Prabowo tetap berpendar.
Saya sedang menunggu momentum apakah tetap jadi bagian manusia golput atau rela terbang ke kampung halaman untuk mencoblos calon pemimpin bangsa.
Pak Prabowo, Pak Jokowi, bersaing sehat akan lebih baik. Saya percaya kalian berdua punya niat baik. Tapi akan lebih elok bila orang-orang di sekitar kalian diajari cara berkomunikasi tanpa saling menyakiti. Saling tuding tak akan ada gunanya kecuali buat mereka yang doyan mencaci.
Setidaknya itu yang sering saya dengar belakangan. Banyak faktor pemanas, kalau mau jujur.
Bukan hanya ocehan Prabowo Subianto yang kemudian disambut pro kontra. Peran pendukung petahana Joko Widodo, menurut saya, juga memengaruhi panasnya dunia politik Tanah Air.
Harus kah ada yang lebih baik diam? Tidak juga.
Prabowo sebagai petarung dalam rentetan pilpres harus bergerak. Alasannya jelas! Dia belum pernah menang dalam berbagai pertandingan. Berkali-kali ikut, namun kandas.
Sebut saja dia lebih gencar, kalau tak ingin disebut panik. Tudingan panik sebenarnya sudah pernah dilontarkan Adrian, politikus PDI Perjuangan, dalam salah satu talk show.
Dalam konteks ini, Prabowo mungkin sangat menyadari apa pun langkah yang dia ambil akan menjadi perhatian publik. Sesepele apa pun ocehan yang ia keluarkan akan menjadi kontroversi. Terlebih, era sosial media yang terlalu gampang mem-viral-kan sesuatu. Di sini, kita belum bicara buzzer dan lain-lain.
Kondisi seperti itu sebenarnya punya dua sisi. Bisa sangat menguntungkan karena secara tidak langsung bisa membangun opini publik. Di sisi lain, pola yang digunakan Prabowo juga merugikan. Contoh, bukan tak mungkin elektabilitasnya menurun.
Seorang pengamat politik sempat mendengungkan itu. Pidato kontroversial Prabowo justru menjadi bumerang.
Belum lagi loyalis Prabowo, Fadli Zon, yang kerap menggelitik melalui pernyataan nyinyir-nya. Boleh jadi, Fadli memang sudah nyinyir dari sananya atau mungkin kegaduhan tersebut jadi bagian strategi perang mereka.
Di samping Prabowo dan Gerindra, ada PKS yang mendampingi. Mardani Ali Sera kemudian harus bersusah meluruskan pernyataan karena sempat menyebut Prabowo membahasakan pemerintah atau elite 'goblok'. Ia kemudian berkali-kali menyebut nama lengkapnya untuk menegaskan kata-kata itu keluar dari mulut dia, bukan Prabowo. Ini pun ramai di media sosial.
See?? Semua ocehan, gerak, bahkan napas mereka pun bakal viral. Perhatian kemudian mengarah pada mereka.
Apa itu menguntungkan? Saya sudah jelaskan di atas. Dan penjelasan klise itu tak serta merta bisa dilihat sebagai hal sepele.
Banyak mulut menyebut cara-cara itu kurang pas. Prabowo bisa saja kembali kalah. PKS juga harus diwaspadai. Beruntung, sepertinya Prabowo bakal mendeklarasikan diri, Kamis, 5 April 2018. Bila tidak, bukan tak mungkin PKS mencari calon lain untuk diusung pada Pilpres 2019.
Kita lihat saja. Sepertinya bakal semakin seru bila Gerindra mendeklarasikan capresnya. Kita tinggal menunggu bursa cawapres dan rebutan kursi calon RI 2 di koalisi itu.
Di kubu berseberangan, ada Jokowi yang siap tanding. Dia memang belum punya cawapres, tapi proses penjaringan tetap berjalan. Dia sudah siap sejak awal dan didukung banyak parpol. NasDem, Golkar, PPP, PDI Perjuangan, dan Hanura sudah siap memenangkan. Belum lagi PSI, Perindo, dan pihak-pihak lain. Meski partai baru, kita tak boleh mengecilkan kehadiran mereka. Strategi komunikasi politik, terutama PSI, tak bisa dipandang sebelah mata.
Namun, Kubu ini harus memerhatikan langkah. Salah-salah, bisa terjungkal karena kelakuan tim sendiri.
Menurut saya, ocehan kubu sebelah tak perlu terlalu diladeni. Posisi rentan jatuh itu nyata bila terlalu reaktif.
Awam pun bisa melihat betapa potensial pihak-pihak yang mendukung Jokowi di periode kedua. Orang-orang pintar dan kreatif ada di sana. Dalam semua lini.
Tapi, potensi keuntungan besar ini bisa mati bila tak dikelola dengan baik. Ingat, ada pengalaman buruk soal orang pintar dan mengabdi namun harus berakhir nahas ketika terpeleset lidah.
Logikanya, semakin banyak pendukung, semakin banyak lidah bicara. Kata-kata bukan persoalan sepele, loh! Ini justru bisa jadi senjata makan tuan. Berhati-hati bila ingin mulus.
Masyarakat semakin cerdas, memang iya. Tapi tak sedikit yang gampang termakan isu, apalagi menyangkut SARA. Sedih rasanya kalau membahas ini.
Saya sebagai masyarakat awam hanya bisa bicara melalui tulisan. Saya bukan pendukung keduanya. Saya suka Jokowi dengan segala terobosan dan kerjanya. Tapi Prabowo juga tak bisa diabaikan. Meski sejarah mencatat, wibawa seorang Prabowo tetap berpendar.
Saya sedang menunggu momentum apakah tetap jadi bagian manusia golput atau rela terbang ke kampung halaman untuk mencoblos calon pemimpin bangsa.
Pak Prabowo, Pak Jokowi, bersaing sehat akan lebih baik. Saya percaya kalian berdua punya niat baik. Tapi akan lebih elok bila orang-orang di sekitar kalian diajari cara berkomunikasi tanpa saling menyakiti. Saling tuding tak akan ada gunanya kecuali buat mereka yang doyan mencaci.
Comments
Post a Comment