Tak semua yang kau lakukan bisa diterima dengan cara biasa oleh orang lain. Kadang, apa yang kau maksud justru dinilai salah.
Iya, itu pasti berkali-kali terjadi, Terlebih bagi mereka yang memang tak terlalu pandai menunjukkan apa yang mereka rasa. Sebagian orang bilang mereka adalah manusia yang merugi. Awalnya, pikiran itu tak terlalu memengaruhi. Tapi semakin lama, asumsi kebanyakan orang itu cenderung mendekati kebenaran.
Apa salah pada akhirnya mereka memilih kembali hanya berfokus pada benda mati sebagai teman, sahabat atau apa pun yang bisa mewakili itu?
Benda mati tak pernah lelah walau terus-terusan dibombardir hal menyebalkan. Benda mati tak pernah membuat luka bagi mereka yang berusaha menjaga rasa. Benda mati tak pernah berpikir yang tidak-tidak pada mereka yang menganggapnya dekat. Benda mati tak pernah terpengaruh dengan situasi dan lingkungan. Benda mati mungkin membuat damai menjadi teman sejati.
Tapi, bukankah manusia membutuhkan manusia lain untuk tahu dirinya 'hidup'? Mereka bukan tak mencoba. Sering!Tapi selalu mendapat imbas tak enak.
Kau tahu rasanya diterima, kemudian pelan-pelan disekat? Sadar atau tidak, orang-orang yang berada di sekitar mereka yang fokus pada benda mati seringkali akan mengakhiri semuanya dengan bekas yang cukup terlihat.
Mereka, pecinta benda mati itu tak akan protes! Hal seperti itu sudah menjadi makanan bertahun-tahun. Mereka hanya terlalu bodoh karena berkali-kali mencoba menjadi manusia kebanyakan. Mencoba kembali percaya pada yang namanya 'santai' ketika di balik semua itu semuanya berlangsung rumit.
Kau bersikap baik akan menjadi salah, apalagi bersikap buruk. Kau tersenyum bisa menjadi kesalahan, apalagi cembetut.
Lalu di mana tempat mereka yang hanya pandai berinteraksi dengan benda mati? Mungkin tetap di ruangan sempit yang bisa membuat mereka berpikir dan menerima diri mereka sendiri.
Sendiri. Kata itu sepertinya sangat tepat buat mereka. Dunia mereka tampaknya kurang dimengerti manusia kebanyakan.
**********
Suatu hari, satu di antara mereka mencoba ke luar dari ruangan 'bodoh' itu. Dia mencoba menjadi manusia yang dianggap manusia. Dia mencoba tak berjarak dengan manusia lainnya. Dia punya harapan semua itu bisa membuat dia merubah pemikiran tentang manusia lain.
Sayangnya, si mengkudu justru kembali menyambangi kerongkongannya. Pahit. Ujung-ujungnya pasti pahit.
Tapi tak apa. Mungkin ini waktunya dia kembali menjadi dia yang dulu. Dia yang tetap nyaman hanya hidup bersama iPod, bolpen, buku catatan, taman, pantai dan udara. Cukup. Itu tak akan membuat dunia memberi berbagai pukulan lagi. Dia mungkin harus kembali ke lingkup di mana tetap merasa nyaman ketika diteriaki 'autis, kau!'. Dia mungkin harus kembali terbiasa ke mana-mana hanya ditemani benda mati dan cukup dengan kondisi itu.
Ah sudahlah, dia pasti sudah berdamai dengan itu. Tak ada yang salah dengan itu semua. Dia pasti bersedia menemani ketika manusia lain butuh. Dia juga pasti bersedia ditinggal ketika manusia lain merasa cukup dan sudah tak butuh ada bersama dia. Dia akan tetap seperti itu. Sekarang dan nanti.
Iya, itu pasti berkali-kali terjadi, Terlebih bagi mereka yang memang tak terlalu pandai menunjukkan apa yang mereka rasa. Sebagian orang bilang mereka adalah manusia yang merugi. Awalnya, pikiran itu tak terlalu memengaruhi. Tapi semakin lama, asumsi kebanyakan orang itu cenderung mendekati kebenaran.
Apa salah pada akhirnya mereka memilih kembali hanya berfokus pada benda mati sebagai teman, sahabat atau apa pun yang bisa mewakili itu?
Benda mati tak pernah lelah walau terus-terusan dibombardir hal menyebalkan. Benda mati tak pernah membuat luka bagi mereka yang berusaha menjaga rasa. Benda mati tak pernah berpikir yang tidak-tidak pada mereka yang menganggapnya dekat. Benda mati tak pernah terpengaruh dengan situasi dan lingkungan. Benda mati mungkin membuat damai menjadi teman sejati.
Tapi, bukankah manusia membutuhkan manusia lain untuk tahu dirinya 'hidup'? Mereka bukan tak mencoba. Sering!Tapi selalu mendapat imbas tak enak.
Kau tahu rasanya diterima, kemudian pelan-pelan disekat? Sadar atau tidak, orang-orang yang berada di sekitar mereka yang fokus pada benda mati seringkali akan mengakhiri semuanya dengan bekas yang cukup terlihat.
Mereka, pecinta benda mati itu tak akan protes! Hal seperti itu sudah menjadi makanan bertahun-tahun. Mereka hanya terlalu bodoh karena berkali-kali mencoba menjadi manusia kebanyakan. Mencoba kembali percaya pada yang namanya 'santai' ketika di balik semua itu semuanya berlangsung rumit.
Kau bersikap baik akan menjadi salah, apalagi bersikap buruk. Kau tersenyum bisa menjadi kesalahan, apalagi cembetut.
Lalu di mana tempat mereka yang hanya pandai berinteraksi dengan benda mati? Mungkin tetap di ruangan sempit yang bisa membuat mereka berpikir dan menerima diri mereka sendiri.
Sendiri. Kata itu sepertinya sangat tepat buat mereka. Dunia mereka tampaknya kurang dimengerti manusia kebanyakan.
**********
Suatu hari, satu di antara mereka mencoba ke luar dari ruangan 'bodoh' itu. Dia mencoba menjadi manusia yang dianggap manusia. Dia mencoba tak berjarak dengan manusia lainnya. Dia punya harapan semua itu bisa membuat dia merubah pemikiran tentang manusia lain.
Sayangnya, si mengkudu justru kembali menyambangi kerongkongannya. Pahit. Ujung-ujungnya pasti pahit.
Tapi tak apa. Mungkin ini waktunya dia kembali menjadi dia yang dulu. Dia yang tetap nyaman hanya hidup bersama iPod, bolpen, buku catatan, taman, pantai dan udara. Cukup. Itu tak akan membuat dunia memberi berbagai pukulan lagi. Dia mungkin harus kembali ke lingkup di mana tetap merasa nyaman ketika diteriaki 'autis, kau!'. Dia mungkin harus kembali terbiasa ke mana-mana hanya ditemani benda mati dan cukup dengan kondisi itu.
Ah sudahlah, dia pasti sudah berdamai dengan itu. Tak ada yang salah dengan itu semua. Dia pasti bersedia menemani ketika manusia lain butuh. Dia juga pasti bersedia ditinggal ketika manusia lain merasa cukup dan sudah tak butuh ada bersama dia. Dia akan tetap seperti itu. Sekarang dan nanti.
Comments
Post a Comment