Skip to main content

Curug Cikondang dan Situs Gunung Padang, Luar Biasa!

-Tulisan ini dibuat dalam perjalan menuju Cianjur dan ketika kembali ke Jakarta, 9 November 2014-

***
Perjalanan menuju situs sejarah yang satu ini memang ga lancar-lancar banget. Ya, seperti biasa, KRL Jakarta-Bogor yang suka telat ikut gue rasain efeknya. Dari yang jadwal keberangkatan 05.49, si KRL baru berangkatnya jam 06.25.

Alhasil, sampe di Stasiun Bogor udah jam 07.35-an. Setelah sekitar satu menit kepake buat nanya, sisanya kita pake buat lari ke Stasiun Paledang yang ternyata letaknya di seberang Stasiun Bogor.

Ngos-ngosan sih udah pasti. Tapi itu terobati ketika sampe Stasiun Paledang dan nukerin tiket, ada satu mas-mas yang terpaksa batal berangkat karena salah kaprah soal pemesanan online (ini sih gue jahat parah ya, haha). Makanya mas, pesen dulu yang bener sampe nomer bangkunya pasti, hahaha...

Perintilan soal tiket selesai. Kita berhasil naik kereta di menit akhir sebelum keberangkatan. Tepat jam 07.59 kereta berangkat (telat empat menit, harusnya 07.55 berangkatnya).

Duduk di kereta kelas ekonomi emang punya tantangan sendiri. Buang jauh deh angan-angan lo bisa tidur nyaman tanpa bersentuhan lutut sama penumpang lain. Tapi itulah seninya perjalanan dengan biaya murah. Saling tukar senyum dan sesekali bincang-bincang soal apapun jadi keunggulan naik kereta ekonomi.

Perjalanan masih sekitar satu jam lagi nih. Lagu di iPod gue udah muter mulai dari yang galau, semangat, sampe yang over semangat sampe pengen jejingkrakan. Hahaha..

Mereka yang duduk di depan gue adalah seorang ibu dan anak laki-lakinya. Beberapa kali kami saling senyum, entah untuk alasan apa, hahha.. Seruu kan naik kereta eknomiiiii!!! Hehehe..

Ini wujud mereka. Kompak ya, hehehhe...


Dan ini, partner perjalanan pendek gue hari ini, Lia. Ketiduran doi. Emang belom tidur dari semalem si ini produser program dewa di MemetTipi, hahaha..


Dan ini, wujud gue yang dari tadi nyoba ngetik dengan benar meski goyang-goyang di kereta menuju Cianjur ini.

Udah jam 10.10 nih. Kereta berhenti lumayan lama di Stasiun Sukabumi. Tapi kayaknya ga bakal lama lagi udah bisa sampe nih. Lumayan pegel juga ya duduk mulu.

Oke, ini pengecekan tiket yang kedua. Di stasiun ini, penumpangnya banyak turun. Digantiin sama penumpang baru, tapi kereta jadi lebih sepi.

Yasudah, kita tunggu aja jam berapa tepatnya akan sampe di Stasiun Lampegan sebelum jalan lagi ke Situs Gunung Padang.

Yak! Mari kita lanjutkan bincang-bincangnya. Sekitar jam 11 lebih sedikit, gue dan Lia akhirnya sampe di Stasiun Lampegan. Turun kereta, kita langsung ambil beberapa gambat di terowongan yang cukup terkenal di kawasan ini.

Di terowongan ini juga kami ketemu sepasang suami istri 'gokil' yang sama-sama mau ke tujuan yang sama. Berbekal ngobrol dan akhirnya akrab, kami memutuskan jalan bareng.

Dan ini Bu Lis dan Pak Denny, pasangan traveler yang asik banget (foto diambil setelah kami tiba di Gunung Padang)

Debat sengit tentang harga sewa ojek berjalan sekitar 15 menit. Kang ojek minta 150 ribu untuk ke Curug Cikondang-Situs Gunung Padang-dianterin ke jalanan yang ada angkotnya sebelum kami nyambung perjalanan menuju Jakarta.

Rayuan gombal sedikit berhasil. Hanya dengan 120 ribu kami sepakat ngojek setelah sempat berpikir untuk jalan kaki aja sampe Gunung Padang. Untung naek ojek, kalo jalan kaki mah, wassalam kayaknya, hahaha...

Perjalanan gila menuju Curug Cikondang pun kami jabanin berempat. Men! Jalanannya masyaowo banget hahaha.. Pantat gue yang udah tepos kayaknya bener-bener habis deh karena pegel.

Tapi, semua itu kebayar. Curug Cikondang emang top. Gambar via DSLR ataupun hanya pake hp bener-bener bikin orgasme mata! Begitu juga pikiran. Fresh parah setelah ngeliat air terjun yang cantiknya bukan main.



Betah si di air terjun, tapi kami harus rela dadah-dadah ke Curug Cikondang karena harus lanjut ke Gunung Padang. Perjalanan yang jadi penyebab utama pantat tepos pun kembali kami lalui. Emejing! Jauh beutz menuju Gunung Padang.






Sekitar jam 14.30 kami sampe juga di Gunung Padang. Rada di luar ekspektasi sih. Terlalu rame dan kebiasaan manusia Indonesia, suka buang sampah sembarangan! Tapi, over all, lumayanlah buat istirahat dan piknik cantik ala Syahrini di Paris.

Pak Deny, suaminya Ibu Lis, bener-bener mempersiapkan segalanya. Ya, wajar sih, hampir setengah dari bumi ini udah dia dan keluarga jelajahi. Bahkan, sekadar tikar (karung plastik) buat duduk, jas hujan, baju ganti, dll, lengkap di tas mereka. Wow! (Lain waktu gue akan bikin tulisan khusus tentang mereka).

Makan bakso pun jadi khusyuk dengan duduk di tikar Pak Deny. Ga cuma baik ke kami, semua uang ditemui pun dianggap keluarga sama mereka. Kami berbagi pantat di tikar mungil itu.



Jelang sore, gue sama Lia memutuskan untuk ngiterin Gunung Padang. Tanpa sengaja, kami ketemu Abah Dadi yang lagi mungutin dedaunan di teras keempat Gunung Padang. Spontan, gue ikutan sambil ngobrol. Dan jiwa jurnalisnya Lia keluar deh tuh. Berbagai pertanyan digelontorin. Good job, Lia! Si Abah jadi menjelaskan selengkapnya, sambil kami mengunjungi satu per satu bebatuan yang punya tanda sendiri.

Obrolan panjang yang menambah pengetahuan selesai. Kami mulai menuruni satu demi satu anak tangga. Abah sempat mamerin warung dan tempat nginep buat wisatawan yang pengen nikmatin sunrise.

Karena gerimis mulai mengundang (kayak lagu ya, hahaha), kami sepakat pulang. Berbekal rain coat punya kang ojek, gue sama lia setidaknya selamat dari basah kuyup. Hujan mulai deras ketika harapan dapet angkot memudar. Jarak pandang pendek banget. Kalo aja kang ojeknya lengah, bisa-bisa nyungsep.

Dan itu kejadian sama Pak Deny. Ya, cowo berkumis yang belakangan kami sebut Ayah itu jatoh bersama kang ojeknya, Obet. Gue dan kang ojek gue(hadeh, lupa namanya) memutuskan berhenti untuk memastikan ayah dan obet bisa melanjutkan perjalanan atau tidak. Alhamdulillah, bisa.

Ga jauh dari tempat ayah jatoh, kami berhenti di salah satu rumah warga untuk neduh. Salah satu kang ojek berusaha manggilin angkot ke tempat mangkalnya.

"aya' angkotna?" tanya kang ojeknya Lia ke kang ojek gue yang ditugaain ke pangkalan.

"eweuh," kata kang ojek gue.

Lama ngobrol sambil neduh, kami akhirnya memutuskan balik arah ke Stasiun Lampegan lagi. Untungnya, ada satu kereta terakhir ke, Sukabumi. Butuh waktu satu jam menunggu di Lampegan buat nunggu loketnya buka. Kami akhirnya melipir ke warung depan stasiun untuk cari pop mie dan minuman hangat.

Alhamdulillah, perut kenyang, badan hangat, dan tiket dapet dengan harga 20.000. Sekarang, jam 19.30 kami udah setengah jalan ke Sukabumi menggunakan kereta terakhir. Perkara dari Sukabumi akan naik apa, terus terang gue males mikirin. Selama partnernya Lia yang sama-sama ga suka ngeluh soal perjalanan dan biayanha, kami pasti,bisa sampai Jakarta dengan hati tetap bahagia. Hahaha..

Bro, sis, guys, doakan kami dapet bus dan tidak kena macet dari Sukabumi menuju Jakarta ya! Nih baru sampe Stasiun Sukabumi nih.

Di stasiun ini kami berpisah dengan Ibu Lis dan Ayah Deny. Mereka pengen ke daerah Slamet untun hunting kuliner khas Sukabumi. Setelah cipika cipiki dengan ayah dan ibu dadakan kami itu, gue dan Lia langsung memburu angkot 08 dengan ongkos 3.500.

Perjuangan nyari bus masih akan kami lalui. Doakan kamiii!!!!!

"Kalo jam segini, bis tujuan Jakarta udah ga ada. Itu naek L300 yang ke Bogor," kata abang-abang yang kita tanyain setelah turun dari angkot 08 warna ijo di depan Terminal Sukabumi.

Alhasil, kami nyebrang lagi buat naek L300. Biayanya cuma 20.000 kok. Oke. Perjalanan dimulai, daripada gue muntah karena jalan sambil ngetik, cerita kita lanjutkan nanti.

Perjalanan menumpangi L300 terasa sangat panjang. Wajarlah, jalur Sukabumi-Ciawi memang padat. Capek, pegel, tapi hati tetep seneng.

Sampe di Ciawi, kami lanjut naik bus ac menuju Terminal Kampung Rambutan dengan biaya super murah, 10.000. Ga butuh waktu lama. Jam 23.30 kami udah sampe di Rambutan untum melanjutkan perjalanan dengan bus Rambutan-Grogol. Nah, justru naik bus ini lebih mahal karena kami dimintain ongkos 15.000. Perjalan tergolong lancar. Kami turun tepat di depan pos polisi Grogol. Dari sana, kami memilih burung biru untuk ditumpangi.

Sekarang, gue udah bobo cantik di kostan. Siapin tenaga untjk liputan besok.

Comments

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal