Skip to main content

Menilai Diri Sendiri


Butuh teman bicara. Ya, rasanya itulah yang sangat saya butuhkan saat ini. Memang, saya seringkali berbicara dengan benda mati. Karena mereka hanya mendengar tanpa merespon. Dan itu membuat saya nyaman. Tapi kali ini, saya rasa saya butuh manusia yang bisa memberi respon. Hmm.. tapiii, apa saya benar-benar membutuhkan itu? Sepertinya tidak! Jadi maaf, kalo lagi-lagi yang bisa saya lakukan hanya menulis. :)


Hari ini, seperti biasa, saya melaksanakan tugas di multimedia. Menulis, meng-upload video berita, dan sesekali bercanda dengan rekan kerja, bahkan bercengkrama dengan beberapa teman. Puas! Karena hari ini rasanya lengkap.

Tapi, semuanya berubah pas saya sampe di kost-an. Jujur, ternyata saya takut menghadapi diri sendiri.

Pernah ada argumen tentang itu. Manusia modern adalah manusia yang takut menghadapi dirinya sendiri. Karena itulah, ketika libur datang, manusia  cenderung untuk menghabiskan waktu di luar. Mungkin di mal, zona bermain, ke rumah teman, dan lain-lain. Tidak mau sendirian.

Padahal, akan lebih baik jika waktu libur digunakan untuk sejenak mengambil jarak dari diri dan melihat ke dalam diri itu sendiri. Hmmm.. Terlalu berat mungkin kata-katanya. Yang saya maksud adalah, kita membuat proyeksi diri. Sulit memang menilai diri sendiri. Tapi di waktu libur, kita punya banyak waktu untuk mengingat kejadian yang kita alami selama lima hari belakangan. Apa saja yang membuat kita senang, dan apa aja yang membuat kita marah.

Seharusnya kita bisa mengolah akumulasi perasaan selama lima hari belakangan. Saya pernah mencoba melakukan itu. Saya berhasil, walaupun hanya satu kali. Mau tahu hasilnya apa? KETAKUTAN! Ya, saya takut mendapati hasil dari proyeksi diri saya sendiri.

Saya takut karena tahu saya bukanlah manusia yang sukses mengalahkan ego, bahkan untuk diri saya sendiri. Lalu saya mulai berpikir, bagaimana saya bisa bersikap baik, jika untuk kebaikan diri sendiri saja saya bingung melakukannya bagaimana. Jelasnya begini, saya sulit untuk menahan rasa marah, padahal saya tahu itu sangat merugikan saya secara fisikal dan emosional. Marah itu capek, tapi marah sepertinya menjadi hobi baru saya setahun belakangan. Nah, untuk hal ini saja, saya kalah dengan konsep marah itu sendiri. Payah, kan!

Itu semua membuat saya takut untuk melihat ke dalam diri saya sendiri. Saya takut menemukan diri saya yang penuh dengan energi negatif. Mungkin karena sejak kecil sosok manusia ideal adalah manusia yang cinta damai, dalam arti tidak suka marah, selalu bisa menyelesaikan masalahnya sendiri, dan mau menerima kritik dan makian orang lain demi keberhasilan dirinya.

Saya menebak, itu yang membuat orang-orang takut menerima kenyataan bahwa dirinya tidak termasuk golongan manusia ideal, hingga melupakan jargon 'tidak ada manusia yang sempurna'.

COMPLICATED sodara-sodaraaa!!!

Ah sudahlah, saya sudah terlalu banyak bacot rupanya. Selamat malam semesta, peluk saya dengan hangat ya!




Comments

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal