Skip to main content

Senja ke-25 di Januari

Senja bakal tetap menjadi senja dalam kondisi cerah maupun hujan. Dia punya cerita sendiri yang pasti berbeda dengan ruang waktu lainnya.

Sebenarnya tak ada perbedaan signifikan soal senja hari ini maupun kemarin. Sedikit saja. Senja hari ini mengantarkan banyak cerita baru.

Sepasang kaki tak terlalu kokoh itu mencoba pengalaman baru. Ia melangkah kurang lebih 20 meter dari tempat semula.

Kaki beralas sandal jepit itu kemudian berhenti melangkah tepat di balkon depan rumah. Matanya menyisir dari sisi kiri ke kanan.

Langit masih tampak biru cerah. Hanya sedikit pendar oranye menyempil di tiap gumpalan rata awan.

Pemandangan tak begitu spesial. Standar.

Seorang bocah melintas dari sisi kanan rumah. Dari balkon, penampakan bocah itu sedikit kumal. Mungkin ia habis bermain bola kaki di lapangan kampung sebelah.

"Sore, kak! Tumben ga nongkrong di warung kopi mang Jajang," ucap Lukas, nama panggilan bocah laki-laki itu.

"Capek, Kas. Ga enak badan. Ini baru bangun dan langsung mantau ke sini," pemilik sepasang kaki bersandal jepit menimpali.

Obrolan selesai. Lukas melambai sambil melangkah menuju rumah yang berjarak sekitar 150 meter dari rumah pemilik sepasang kaki bersandal jepit.

Sebut saja dia Dinda. Perempuan berusia 27 tahun yang terkenal tak suka basa-basi tapi ramah. Kau bayangkan sendiri lah bagaimana sosok itu.

Basa basi busuk hanya dilakukan kepada Lukas. Itu juga karena Lukas tak pantang menyerah merudal bahan obrolan ketika mereka berdua minum kopi atau teh di warung mang Jajang.

Lukas ikut membantu mang Jajang berjualan minuman, gorengan, dan berbagai jajanan lain. Anak itu punya nilai plus di mata Dinda yang ternyata bukan orang sembarang baik di lingkungan rumah maupun kantor.

Nasib Dinda dan Jajang memang cukup jomplang. Dinda tak pernah merasakan hidup terlalu keras sejak kecil. Sementara Jajang sudah harus membantu mang Jajang berdagang agar bisa mencukupi SPP dan uang jajan sehari-hari di sekolah.

Jajang anak yang kuat. Dinda suka perjuangan hidup anak itu.

Seperti sore ini. Lepas berbasa basi dengan Lukas, mengamati sekitar melalui balkon, dan menyeruput sedikit demi sedikit kopi tanpa gula, dinda memutuskan‎ mandi. Ia mencari kaos serta celana pendek ternyaman untuk digunakan setelah mandi.

Berkaca bukan kebiasaan Dinda. Ia hanya menyisir rambut pendek basahnya dengan tangan, lalu mengarahkan kipas angin untuk sedikit mengeringkan.

Ritual itu selesai. Dinda langsung mengambil sandal jepit kesayangan dan bergegas ke rumah Lukas. Ia ingin ngobrol atau sekadar menikmati ubi goreng buatan ibu Lukas.

"Assalamualaikum, bu Nunung," Dinda menyapa empunya rumah sambil masuk ke ruang tengah tanpa ba bi bu.

Dia sudah biasa seperti itu. Rumah Lukas menjadi rumah kedua bagi Dinda.

"Kaaassss!!!!! Lukaaaassss!!!!! Ikut ka Dinda ke supermarket yuk! Mau belanja bulanan nih, tapi males sendirian," Dinda memanggil Lukas dengan gaya preman minta pungli.

Teriakan Dinda berhasil. Cukup menunggu lima menit, Lukas sudah siap dan menarik tangan Dinda. Keduanya bergegas menuju ‎supermarket terdekat. 

Sayangnya, di tengah jalan, Dinda menemukan tukang sate madura. Niatan ke supermarket ditunda demi mengisi perut yang sedari tadi dibiarkan kosong.

Dua makhluk tuhan itu menikmati makanan sambil berbincang ringan. Tapi....


"Eh, kak! Tadi Lukas ketemu mas Raka. Dia ke rumah ka Dinda ga? Tadi dia ngebonceng mas Ari. Kelihatan buru-buru. Lukas pikir pasti mau ke rumah kakak. Biasa, gosip-gosip di balkon," cerocos Lukas.

Dinda sudah mulai curiga. Dua orang itu sama sekali tak mampir. Belakangan, sahabat-sahabat Dinda itu berperilaku tak biasa.

Raka selalu menghindar kalau bertemu. Sementara Ari, boro-boro berpapasan, semingguan ini dia seperti hilang di telan bumi. Tidak muncul dan sama sekali tak mengabari, padahal Dinda tahu Ari punya tiga smartphone yang bisa digunakan untuk menjaga silaturahmi.

"Mereka ke arah rumah ka Dinda?"

"Iya kak. Tapi ga tahu juga kalau ternyata lurus doang ke arah jalan raya."

"Yasudah. Buruan dihabisin satenya. Nanti supermarket keburu tutup."


Dinda menyerahkan Rp30 ribu ke tukang sate sebelum mereka meninggalkan lapak itu.


-bersambung-

Comments

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal