Sepuluh tahun peringatan Tsunami Aceh. Itulah yang menjadi tema penulisan salah satu reporter online di media nasional tempatku bekerja. Memang, aku mendapat jatah libur pada hari H perayaan itu, 26 Desember lalu. Tak banyak hal yang bisa kuikuti tentang isu itu.
Tapi hari ini, giliranku berjaga di kantor dan mnejadi editor magang untuk isu daerah. Satu berita menarik tiba-tiba menggerakkan tanganku untuk meng-klik-an kursor mouse-ku.
Berita itu tentang kuburan massal. Aku tak tahu apa yang spesial, tapi sulit rasanya menahan haru ketika membaca dan pelan-pelan mulai mengedit pragraf demi paragraf tulisan reporter yang akrab disapa Aul itu.
Aku merasa benar-benar ada di sana, di 'padang rumput' di mana puluhan ribu jasad korban Tsunami Aceh 2004 dimakamkan. Dadaku terasa sesak!
Tapi, ini pekerjaan, aku harus bisa menetralisir perasaan. Tak boleh terlalu larut.
Ya, berusaha untuk sama sekali tak terbawa suasana..
Tapi namanya manusia, tak ada yang bisa ditahan dengan sengaja ketika ia ingin keluar dan ditumpahkan.
Kalimat tentang sekaan air mata membuat aku pun diam-diam menyeka bulir air di pelupuk mata.
Tuhan, sebegitu kuat ka melindungi hati mereka, sehingga tetap berdoa khusyuk meski mereka tak tahu apakah jasad kerabat mereka benar-benar dimakamkan di sana, atau justru sama sekali tak ditemukan pada proses evakuasi sepuluh tahun lalu.
Ini pengalaman mengedit dan menulis baru bagiku. Merasakan apa yang ada dalam tulisan seorang reporter itu, reporter yang sama kedudukannya denganku.
Di bawah ini, ada tulisan yang berisi berita feature dari reporter itu. Sila dibaca, mungkin kita bisa merasakan haru yang sama.
***
SALAH satu sudut jalan
menuju dan dari Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda tampak ramai,
Sabtu (27/12/2014) pagi. Hamparan rumput nan hijau laiknya yang
tertanam di taman memberikan efek teduh pada pandangan mata.
Tempat itu ternyata bukan sembarang 'lapangan'. Di padang rumput sekitar dua hektare itu dimakamkan puluhan ribu tubuh korban Tsunami Aceh, sepuluh tahun lalu. Ya, tempat itu adalah salah satu kuburan massal korban bencana mahadahsyat yang sempat menyedot perhatian dunia, pada 2004 silam.
Sekitar 46.718 jasad tertanam di padang rumput yang dikelilingi pohon rindang itu. Tidak seperti kuburan biasa, pemakaman massal tersebut tidak disertai batu nisan, by name and by date. Hanya beberapa batu berukuran sedang berwarna merah yang terpancang.
Wajar rasanya jika tempat itu belakangan dikunjungi banyak kerabat korban. Mereka membacakan doa dan surat yassin untuk korban. Mereka juga memanjatkan doa di tiga saung yang tersedia. Adapula yang duduk di sisi batas pemakaman yang di atasnya bertabur kepingan bunga. Mereka tampak khidmat, khusyuk dan sesekali menyeka air mata yang mungkin sudah tak bisa ditahan untuk menetes.
Mereka yang tak tahu pasti di titik mana keluarga mereka dikuburkan seolah tak peduli. Doa demi doa tetap dialunkan dengan indah dalam rangka memeringati sepuluh tahun tragedi tragis itu. Sebagian dari mereka bahkan sama sekali tak tahu apakah kerabat yang mereka cintai ditemukan atau bahkan tetap hilang bersama puing akibat Tsunami.
"Saya tidak tahu apakah anak saya dimakamkan di sini atau masih belum ditemukan," kata Yusril Syah (64), kepada Metrotvnews.com, di Pemakaman Massal, Siron, Lambaro, Aceh Besar, Sabtu, (27/12/2014).
Warga asal Kaju, Baitussalam, Aceh Besar ini mengaku dirinya kehilangan banyak sanak saudara. Bencana yang melanda Kaju yang hanya berjarak 1 kilometer dari laut, turut menghilangkan satu anaknya, yang saat itu baru saja lulus SMA dan sedang mengikuti tes kepolisian. Semua sanak saudara, termasuk sang anak, tidak diketahui di mana keberadaannya hingga detik ini.
"Yang jelas, setiap Jumat saya selalu luangkan waktu untuk ke sini dan pemakaman massal lainnya. Utamanya, saya mendoakan keluarga saya, tapi juga mendoakan semua korban," ucap dia.
Sang istri, Nurlela, (62) mengisahkan, dirinya dan anggota keluarga intinya, sempat terpisah satu sama lain pascatsunami.
"Kami semua kayak orang setengah gila. Kami bertemu setelah satu minggu," ujar Nurlela yang kini hidup dengan tiga anak lain.
Semakin siang, warga atau keluarga korban semakin ramai mengunjungi pemakaman di mana bendera merah putih setengah tiang terpancang di pintu masuk makam.
***
Tapi hari ini, giliranku berjaga di kantor dan mnejadi editor magang untuk isu daerah. Satu berita menarik tiba-tiba menggerakkan tanganku untuk meng-klik-an kursor mouse-ku.
Berita itu tentang kuburan massal. Aku tak tahu apa yang spesial, tapi sulit rasanya menahan haru ketika membaca dan pelan-pelan mulai mengedit pragraf demi paragraf tulisan reporter yang akrab disapa Aul itu.
Aku merasa benar-benar ada di sana, di 'padang rumput' di mana puluhan ribu jasad korban Tsunami Aceh 2004 dimakamkan. Dadaku terasa sesak!
Tapi, ini pekerjaan, aku harus bisa menetralisir perasaan. Tak boleh terlalu larut.
Ya, berusaha untuk sama sekali tak terbawa suasana..
Tapi namanya manusia, tak ada yang bisa ditahan dengan sengaja ketika ia ingin keluar dan ditumpahkan.
Kalimat tentang sekaan air mata membuat aku pun diam-diam menyeka bulir air di pelupuk mata.
Tuhan, sebegitu kuat ka melindungi hati mereka, sehingga tetap berdoa khusyuk meski mereka tak tahu apakah jasad kerabat mereka benar-benar dimakamkan di sana, atau justru sama sekali tak ditemukan pada proses evakuasi sepuluh tahun lalu.
Ini pengalaman mengedit dan menulis baru bagiku. Merasakan apa yang ada dalam tulisan seorang reporter itu, reporter yang sama kedudukannya denganku.
Di bawah ini, ada tulisan yang berisi berita feature dari reporter itu. Sila dibaca, mungkin kita bisa merasakan haru yang sama.
***
Foto Dok Indonesia Kaya
Tempat itu ternyata bukan sembarang 'lapangan'. Di padang rumput sekitar dua hektare itu dimakamkan puluhan ribu tubuh korban Tsunami Aceh, sepuluh tahun lalu. Ya, tempat itu adalah salah satu kuburan massal korban bencana mahadahsyat yang sempat menyedot perhatian dunia, pada 2004 silam.
Sekitar 46.718 jasad tertanam di padang rumput yang dikelilingi pohon rindang itu. Tidak seperti kuburan biasa, pemakaman massal tersebut tidak disertai batu nisan, by name and by date. Hanya beberapa batu berukuran sedang berwarna merah yang terpancang.
Wajar rasanya jika tempat itu belakangan dikunjungi banyak kerabat korban. Mereka membacakan doa dan surat yassin untuk korban. Mereka juga memanjatkan doa di tiga saung yang tersedia. Adapula yang duduk di sisi batas pemakaman yang di atasnya bertabur kepingan bunga. Mereka tampak khidmat, khusyuk dan sesekali menyeka air mata yang mungkin sudah tak bisa ditahan untuk menetes.
Mereka yang tak tahu pasti di titik mana keluarga mereka dikuburkan seolah tak peduli. Doa demi doa tetap dialunkan dengan indah dalam rangka memeringati sepuluh tahun tragedi tragis itu. Sebagian dari mereka bahkan sama sekali tak tahu apakah kerabat yang mereka cintai ditemukan atau bahkan tetap hilang bersama puing akibat Tsunami.
"Saya tidak tahu apakah anak saya dimakamkan di sini atau masih belum ditemukan," kata Yusril Syah (64), kepada Metrotvnews.com, di Pemakaman Massal, Siron, Lambaro, Aceh Besar, Sabtu, (27/12/2014).
Warga asal Kaju, Baitussalam, Aceh Besar ini mengaku dirinya kehilangan banyak sanak saudara. Bencana yang melanda Kaju yang hanya berjarak 1 kilometer dari laut, turut menghilangkan satu anaknya, yang saat itu baru saja lulus SMA dan sedang mengikuti tes kepolisian. Semua sanak saudara, termasuk sang anak, tidak diketahui di mana keberadaannya hingga detik ini.
"Yang jelas, setiap Jumat saya selalu luangkan waktu untuk ke sini dan pemakaman massal lainnya. Utamanya, saya mendoakan keluarga saya, tapi juga mendoakan semua korban," ucap dia.
Sang istri, Nurlela, (62) mengisahkan, dirinya dan anggota keluarga intinya, sempat terpisah satu sama lain pascatsunami.
"Kami semua kayak orang setengah gila. Kami bertemu setelah satu minggu," ujar Nurlela yang kini hidup dengan tiga anak lain.
Semakin siang, warga atau keluarga korban semakin ramai mengunjungi pemakaman di mana bendera merah putih setengah tiang terpancang di pintu masuk makam.
***
Comments
Post a Comment