Skip to main content

Dini Hari di Teras

Sudah lewat pukul 4.30 WIB ketika memori itu tiba-tiba terbongkar.

Tak banyak yang bisa kuingat tentang kebersamaan kita. Kau yang kukenal adalah sosok manusia keras tapi lembut. Aku pun bingung mendeskripsikannya.

Di satu waktu kau bisa ganas, marah membabi buta bahkan tak jarang main fisik. Mungkin itu yang membuat aku menjadi perempuan yang hampir tak takut dengan apapun.

Berkali-kali muka ini 'ditonjok'. Bahkan sesekali sampai hidung mengeluarkan darah. Belum lagi kalimat tajam yang untuk anak seusiaku mungkin begitu sulit untuk dilupakan sebagai kenangan buruk.

Tapi semua itu bisa kuterima ketika Tuhan mulai campur tangan. Kau meninggal (aku lebih suka menyebutnya mati). Tak ada harta yang kau tinggalkan, tapi kekuatan mental yang kau wariskan.

Kalau saja dulu kau tak melatihku sekeras itu, mungkin kini aku sudah hancur dan tak bisa kubayangkan bagaimana masa depanku dalam status yatim.

Kematianmu mengejutkan. Mungkin itulah yang disebut petir di siang bolong. Tiba-tiba dan tanpa aba-aba. Tapi lagi-lagi itu membuat aku atau mungkin kami menjadi terbiasa dengan huru-hara.

You know, dad? Banyak sekali cobaan pascakematianmu. Kau tahu rasanya luka yang ditetesi air jeruk nipis? Begitulah rasanya ketika melihat istrimu, yang tak lain adalah ibuku menangis. Bukan meratapi kepergianmu, tapi menangis ketika beberapa orang mencoba menyakiti dia dan anak-anaknya yang masih dalam usia labil.

And see???
Sekarang kami seperti batu! Tak gampang hancur atau terbelah. Lagi-lagi aku sulit mencari cacat dari musibah kematianmu. Semuanya ber-HIKMAH!

Hey, Nuh! Enam bulan sebelum kau pergi, kau menjadi manusia yang begitu erat dengan Tuhan. Dan kau tahu? Di belakangmu aku melakukan hal yang sama. Percaya dan cinta pada Tuhan.

Selepas kepergianmu aku marah. Aku merasa Tuhan mengolok-olok dan mempermainkanku. Aku lupakan dia. Aku musuhi dia.

Sampai ketika kau muncul di alam bawah sadarku. Sebutlah itu mimpi. Saat terbangun, aku kembali merasa butuh. Meski tak seintensif dulu kujalani perintahnya dan harapanmu. Setidaknya dia tetap ada di rongga hati yang sudah tak utuh sejak kau dia ambil.

Dan lagi, kepergian yang berujung kunjungan di mimpi membuatku sadar. Apapun yang kau ingin selalu coba kupenuhi.

Hey, Mr. Nuh, tak pernah ada kata-kata sayang yang meluncur dari masing-masing bibir kita. Semuanya seperti tertelan di kerongkongan. Kita tak terbiasa berkekspresi tentang rasa. Kau kaku seperti kanebo kering sementara aku terlalu gengsi untuk sekadar bilang 'i love you, pa'.

Tapi aku yakin, kau sangat tahu betapa besar rasa sayangku kepadamu. Buktinya, sampai detik ini aku tak pernah bisa berhenti membicarakanmu dengan nada bangga kepada siapapun.

Satu hal yang membuatku tak takut menghadapi dunia tanpa kehadiran ayah adalah kertas lusuh yang entah kapan kau tulis. Kami temukan kertas lusuh berisi tulisan tentang risiko itu di salah satu sudut lemari atau dompetmu, aku tak terlalu ingat.

Intinya, kau menegaskan bahwa hidup adalah risiko. Tak ada ruang untuk bilang A jika yang benar adalah B. Dan tak ada celah untuk menghindari risiko dari setiap keputusan yang kau buat.

It works, pa! Semoga itu selalu bisa kuterapkan.

Ingat pelukan terakhirmu untukku? Tepat satu minggu sebelum kau terbujur kaku? Pelukan itu aneh! Hangat tapi tak nyaman. Kau seperti tak ingin melepas tapi harus. Kau tahu (ini rahasia, aku tak pernah ceritakan pada siapapun, pa), aku hampir menangis saat itu. Berat rasanya berpisah denganmu. Tapi aku harus pergi ke pulau lain. Memang untuk menemani mama operasi sekaligus bertugas, tapi rasanya aneh ketika melepas pelukanmu untuk kemudian mencium tanganmu pertanda pamit.

Tapi sudahlah, jalan keluar terbaik bagi kita berlima mungkin adalah kematianmu. Kau tinggalkan tiga harta berharga padaku. Mama, kakak, dan Gerry. Merekalah yang menjadi sumber kehidupanku pa!

Siapapun yang menyakiti mereka, aku bersumpah membalasnya dengan cara apapun. Percaya saja padaku, kita punya watak yang sama, bukan?

Arrrgghh!!! Kau sedang apa? Atau jangan-jangan sedang mengintipiku menuliskan ini? Bisakah kita berbincang? Aku rasa aku butuh beberapa wejanganmu. Hmmmm... Aku butuh dipeluk, pa! Lebih gila lagi aku berharap tiba-tiba kau muncul di depanku. Duduk dan menghisap rokok bersama mungkin? Aku duplikatmu, pa. Kau tak perlu marah atas kebiasaan buruk itu. Aku terobsesi ingin menjadi sepertimu, maka jangan salahkan apa saja gerak-gerik dan kebiasaanmu menempel erat dan identik di aku.

Hahahhahaha... Maaf pa, itu cuma jadi harapan kosong. Dunia kita berbeda sekarang. Nikmati saja setiap kenangannya. Toh kau tak bisa menoyorku ketika aku nakal, kan???

Bahagialah di sana, pa. Kau pantas dapatkan itu. Biar kami yang di dunia yang mengurusi hidup. Biar aku menjalani hidup dengan caraku.

Pantau kami dari surga, pa. Ingatkan jika berlebihan menyimpangnya. Tegur aku dengan cara apapun yang memungkinkan jika kau anggap aku berada di luar prinsip hidup yang kau ajarkan.

I miss you, pa! Aku tak ingin ikut mati agar bisa bertemu dan dipeluk. Aku hanya ingin menikmati ini dengan caraku.

Sampai jumpa di kehidupan yang lain, papa.


Comments

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal