Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh.
Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta.
Sangat sempurna bukan?
Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi.
Kemudian kamu pergi. Berlalu dengan embel-embel sempurna yang tetap melekat. Aku pun selalu menceritakan sempurnanya kamu sebagai manusia. Seolah bangga padahal entah kenapa seperti ada yang mengganjal.
Sampai di suatu pagi, seseorang yang menutupi semua kurangmu memutuskan berbicara. Aku tak marah karena ulahmu. Aku mati rasa. Aku tak mengerti mengapa perasaan ini sangat datar. Padahal, aku berhak mencacimu.
Waktu menjawab. Aku mulai tahu apa yang kurasakan. Aku sangat membencimu. Bukan karena kekuranganmu, tapi karena polahmu yang membuat seseorang yang selama ini menutupi kurangmu menangis. Dia tersiksa dalam diam. Dia kunyah sendiri deritanya demi membuatmu tetap bersinar di hadapan orang lain. Aku ingin merobek-robek wajahmu. Tapi aki bahkan tak tahu di mana Tuhanmu menempatkanmu sekarang.
Aku membencimu. Tapi sejarah membuatku tak bisa lari. Kamu tetap dia. Orang yang bersinar di mata manusia lain.
Selamat 15 Oktober! Berbaiklah di sana. Tak ada doa. Tak ada sumpah serapah dariku. Cerita kita selesai.
Comments
Post a Comment