Ini kisah Gea. Mahluk yang pada akhirnya harus kembali menyerah karena manusia.
Gea cuma seonggok tubuh yang diberi nyawa oleh pemiliknya. Dia tak begitu suka keramaian, tapi terpaksa menerima riweuhnya dunia manusia.
Sekitar 2015, Gea yang sudah sangat anteng dengan hidupnya dihampiri seorang manusia yang menawarkan pertemanan. Sulit di awal, tapi pelan-pelan Gea mulai membuka diri. Mereka berteman lebih dari 3 tahun.
Semua mulus. Gea merasa bisa menjadi manusia. Tertawa, bercanda, dan berbagai rasa khas manusia sudah mulai bisa dirasakan.
Sayangnya, nasib Gea tak sebaik itu. Ia tak terlalu siap ketika dunia tersapu angin puyuh. Dunia Gea kelam. Dia jatuh tapi sulit untuk bangun.
Gea yang pada awalnya terlalu tertutup kepada siapa pun akhirnya harus bicara agar tetap dalam batas waras. Menusia yang menjadi temannya selama ini dianggap bisa menenangkan.
Keputusan besar harus diambil. Gea mencurahkan semuanya kepada manusia itu. Semua. Tak ada yang dirahasiakan sama sekali.
Tapi angin terlalu kencang dan Gea semakin terombang-ambing. Sikapnya berubah. Terlalu meledak-ledak, selalu ingin ditemani karena memang tak berani sendiri sejak memiliki teman, terlalu bergantung, dan mungkin kebanyakan menuntut waktu samg manusia untuk selalu mendampingi. Manusia yang ia sebut teman melebihi saudara itu mungkin sudah sampai titik lelah.
Ia tak lagi sanggup menghadapi Gea dan pelan-pelan pergi. Tanpa aba-aba. Gea tak bisa menyalahkan. Ia memilih meninggalkan semuanya.
"Apa kau tahu, rasanya diterima kemudian dibuang seperti sampah?"
Pertanyaan yang sama pernah Gea lontarkan di tahun-tahun awal ia berteman dengan manusia itu. Bedanya, saat itu pertemanan mereka masih bisa diselamatkan. Gea mengurungkan niat kembali ke dunianya dan bertahan di dunia manusia.
Sayangnya, Gea sudah tak mungkin bertahan saat ini. Semakin kencang angin, semakin rapuh Gea. Ia tak lagi sanggup menyesuaikan diri dengan manusia yang semakin lama sudah tak mungkin ia sebut teman.
Ia memutuskan bertanya dan membiarkan manusia itu menumpahkan segala kekesalannya. Gea jadi tahu, manusia itu sudah tak mungkin menjadi teman, terlebih saudara seperti yang selama ini Gea pikirkan.
Keputusan harus diambil agar manusia dan Gea tak selalu saling menyakiti. Gea mundur. Ia kembali ke dunianya.
Pertemanan dengan manusia itu membuat Gea banyak belajar. Bersusah lah sendirian, ketika bahagia baru bisa kau bergabung dengan manusia.
Setidaknya, manusia yang ia sebut teman itu mengajarkan banyak hal. Mereka yang tak terbiasa dengan manusia, tak perlu memaksakan diri bersabahat dengan makhlik Tuhan paling sempurna itu.
Gea pamit. "Thank you for being such a good friend," ucap Gea.
Dia pergi dan tak berniat melihat ke belakang. Kalaupun nanti bertemu dengan manusia yang menawarkan pertemanan lagi, Gea sudah pasti tak bisa. Manusia memunculkan trauma sendiri.
Gea tetaplah Gea. Tak akan bisa menjadi manusia apalagi bersahabat dengan mereka.
Gea tetap punya belahan jiwa. Dia makhluk setengah manusia yang juga tak bisa bersama orang-orang kebanyakan.
Biarkan mereka berdua menjalani hidup sesuai cara mereka. Tak perlu ada manusia, tak perlu basa basi lagi, tak perlu merasa sendiri, dan tak perlu buang-buang air mata.
"Thank you."
Itu kata terakhir yang Gea ucapkan untun sahabat manusianya.
Gea cuma seonggok tubuh yang diberi nyawa oleh pemiliknya. Dia tak begitu suka keramaian, tapi terpaksa menerima riweuhnya dunia manusia.
Sekitar 2015, Gea yang sudah sangat anteng dengan hidupnya dihampiri seorang manusia yang menawarkan pertemanan. Sulit di awal, tapi pelan-pelan Gea mulai membuka diri. Mereka berteman lebih dari 3 tahun.
Semua mulus. Gea merasa bisa menjadi manusia. Tertawa, bercanda, dan berbagai rasa khas manusia sudah mulai bisa dirasakan.
Sayangnya, nasib Gea tak sebaik itu. Ia tak terlalu siap ketika dunia tersapu angin puyuh. Dunia Gea kelam. Dia jatuh tapi sulit untuk bangun.
Gea yang pada awalnya terlalu tertutup kepada siapa pun akhirnya harus bicara agar tetap dalam batas waras. Menusia yang menjadi temannya selama ini dianggap bisa menenangkan.
Keputusan besar harus diambil. Gea mencurahkan semuanya kepada manusia itu. Semua. Tak ada yang dirahasiakan sama sekali.
Tapi angin terlalu kencang dan Gea semakin terombang-ambing. Sikapnya berubah. Terlalu meledak-ledak, selalu ingin ditemani karena memang tak berani sendiri sejak memiliki teman, terlalu bergantung, dan mungkin kebanyakan menuntut waktu samg manusia untuk selalu mendampingi. Manusia yang ia sebut teman melebihi saudara itu mungkin sudah sampai titik lelah.
Ia tak lagi sanggup menghadapi Gea dan pelan-pelan pergi. Tanpa aba-aba. Gea tak bisa menyalahkan. Ia memilih meninggalkan semuanya.
"Apa kau tahu, rasanya diterima kemudian dibuang seperti sampah?"
Pertanyaan yang sama pernah Gea lontarkan di tahun-tahun awal ia berteman dengan manusia itu. Bedanya, saat itu pertemanan mereka masih bisa diselamatkan. Gea mengurungkan niat kembali ke dunianya dan bertahan di dunia manusia.
Sayangnya, Gea sudah tak mungkin bertahan saat ini. Semakin kencang angin, semakin rapuh Gea. Ia tak lagi sanggup menyesuaikan diri dengan manusia yang semakin lama sudah tak mungkin ia sebut teman.
Ia memutuskan bertanya dan membiarkan manusia itu menumpahkan segala kekesalannya. Gea jadi tahu, manusia itu sudah tak mungkin menjadi teman, terlebih saudara seperti yang selama ini Gea pikirkan.
Keputusan harus diambil agar manusia dan Gea tak selalu saling menyakiti. Gea mundur. Ia kembali ke dunianya.
Pertemanan dengan manusia itu membuat Gea banyak belajar. Bersusah lah sendirian, ketika bahagia baru bisa kau bergabung dengan manusia.
Setidaknya, manusia yang ia sebut teman itu mengajarkan banyak hal. Mereka yang tak terbiasa dengan manusia, tak perlu memaksakan diri bersabahat dengan makhlik Tuhan paling sempurna itu.
Gea pamit. "Thank you for being such a good friend," ucap Gea.
Dia pergi dan tak berniat melihat ke belakang. Kalaupun nanti bertemu dengan manusia yang menawarkan pertemanan lagi, Gea sudah pasti tak bisa. Manusia memunculkan trauma sendiri.
Gea tetaplah Gea. Tak akan bisa menjadi manusia apalagi bersahabat dengan mereka.
Gea tetap punya belahan jiwa. Dia makhluk setengah manusia yang juga tak bisa bersama orang-orang kebanyakan.
Biarkan mereka berdua menjalani hidup sesuai cara mereka. Tak perlu ada manusia, tak perlu basa basi lagi, tak perlu merasa sendiri, dan tak perlu buang-buang air mata.
"Thank you."
Itu kata terakhir yang Gea ucapkan untun sahabat manusianya.
Comments
Post a Comment