Skip to main content

Atas Nama Lazim

Lazim.
Iya, lazim, sesuatu yang sudah biasa, menjadi kebiasaan, sudah umum, dan lain-lain.

Di negeri tercinta ini, kebenaran mungkin bisa diciptakan karena lazim. Jangan tanya kenapa, gue juga ga terlalu tahu apa muasal semuanya bisa begitu.

Satu hal yang gue tahu, sampaikan apa yang benar sebanyak-banyaknya, biar orang tak terbiasa menerima yang salah. Udah itu aja. Prinsip itu gue pegang dalam hidup.

Sayangnya, itu ga bisa diterapin di lingkungan gue sekarang. Sebagai kuli tinta, penyampai informasi pada publik, gue merasa hal semacam itu wajib dilakukan.

Tapi argumentasi soal "enggak apa-apa pake kata (sesuatu), umum lebih mengerti," membuat gue merasa akan sia-sia berargumentasi di depan penyampai.

Satu dua kali gue bisa terima ketika dikatakan menulislah dengan bahasa yang dimengerti orang kebanyakan. Penulis memang mau tulisannya dibaca dan dimengerti.

Pembiaran demi pembiaran terjadi di tahap ini. Misal, kata absen untuk menunjukkan kehadiran orang. Padahal, absen justru merujuk pada ketidakhadiran. Kamus Besar Bahasa Indonesia yang jadi acuan (selama ini sih disebut begitu) pun jelas menerangkan itu. Lagi-lagi, atas nama lazim, kata absen dibiarkan digunakan untuk menunjukkan kehadiran seseorang.

Gue enggak membantah kalau masyarakat ngerti maksudnya apa. Tapi, apa penulis enggak merasa berdosa ketika apa yang dipahami publik dan yang selalu disajikan penulis merupakan sesuatu yang salah. Apa penulis enggak merasa malu membiarkan masyarakat merasa itu lah yang benar selamanya????

Presensi. Iya, kata itu lah yang tepat menggambarkan kehadiran. Jangan hanya karena orang-orang tak biasa menggunakannya, karena kata itu asing di telinga, justru kita memperlakukannya tidak adil.

Sampai kapan mau membiarkan masyarakat menerima kata absen dengan arti yang tak sebenarnya, justru sebaliknya??????

Ah, entahlah. Jangan terlalu dipikirin lah. Benar dan taat lah untuk apa yang bisa dilakukan saat ini. Hahahahahhahha

Comments

Popular posts from this blog

Quo Vadis?

Lalu kemana harus kubawa pikiran ini? Membuatnya melayang bebas saja aku tak sanggup. Selalu ada sesuatu dalam diri yang menahan dan berusaha membawanya kembali pada jalur yang sama. Kamu. Se-istimewa itu kah Kamu? Aku bahkan sudah melupakan-Mu bertahun-tahun lamanya. Kurasa, Kamu juga sama. Secara tak sadar melupakan aku. Aku jadi ingat waktu Kita masih sering berjalan beriringan. Kamu dengan segala isyarat yang disampaikan melalui banyak 'media' membuat aku patuh dan tergiring ke jalan yang Kamu mau. Sampai pada suatu saat Kamu membuatku benar-benar kaget. Kau bahkan tak memberiku waktu untuk bersiap-siap menghadapinya. Maaf, tapi terus terang aku KECEWA! Sangat kecewa. Kita hidup dalam damai. Kita saling jujur. Tak ada yang kusembunyikan dari Kamu. Tapi belakangan aku sadar, terlalu banyak yang Kamu sembunyikan dari aku. Orang-orang bilang, tak ada satu pun akan tau apa yang Kamu lakukan di detik berikutnya. Kamu memberi kejutan tak menyenangkan! Kamu me

Cerita Kita Selesai

Kamu, seperti yang banyak dipercaya orang, merupakan cinta pertama yang sempurna. Sosok yang selalu memberi kenyamanan dan kehangatan. Idealnya, kamu memberi gambaran sosok seperti apa yang akan menemani perjalanan hidup sang putri di masa depan. Di luar itu, kamu menjadi tokoh utama keluarga yang idealnya (lagi) bisa menjadi contoh. Kamu punya segalanya. Di mata orang-orang, kamu seperti malaikat. Melindungi, mengayomi, menjadi manudia nyaris sempurna. Utuh. Kamu seperti utuh menjadi manusia. Hampir semua orang memuji. Kamu sosok kuat, berprinsip, tak neko-neko, pantang curang. Hidupmu kau serahkan untuk mengabdi kepada negara, daerah, dan masyarakat yang meminta. Sangat sempurna bukan? Tapi kamu lupa. Berjalan terlalu lurus sampai lengah ada benda kecil yang membuatmu terpeleset. Kamu terjatuh. Seluruh tubuhmu kotor. Tapi ada seseorang yang buru-buru membersihkan badan besarmu itu. Kau kembali ke hadapan manusia lain dengan rapi. Sangat rapi. Kemudian kamu pergi. Berlal